Obituari Telat

Geng ngak jelas. Si Septi yang paling depan.
Kamu orang yang kukenal dua tahun ini, barangkali kurang. Bukan dua tahun, hanya satu setengah tahun tepatnya kita mengenalmu. Masih ingatkah kamu bagaimana kita berlima bisa saling akrab? Sebelum kuliah lapangan pertama di pekalongan? Setelah kuliah lapangan itu pun kita berlima kembali lekat, karena memang kita berlima punya kesamaan, tak suka orang yang banyak cakap. 

Sep, kau memang suka pamer. Terlebih terhadap beberapa produk yang kamu pakai sekarang. Dan sejak itu memang kita menilai kamu berubah, jadi tambah modis dan hedonis. Paradoks, kadangkala kita benci terkadang juga rindu dengan sikapmu yang suka pamer. Ya seperti saat kutulis ini. Terlalu singkat kita mengenalmu dan keluargamu, tapi betapa baiknya mereka menyambut kita anak-anak tak tahu malu yang ingin numpang makan saja. 

Santapan yang memang kami incar sejak dulu hanyalah ikan gurame yang dipelihara bapakmu di samping rumah. Sampai-sampai kami membayangkan pada momen seperti apa yang bisa membuat ikan gurame mampir di mulut-mulut hina ini dengan embel-embel gratis. Sayang ikan gurame lebih dulu terpanggang sebelum perayaan, pun juga dirimu. 

Sekarang kamu pergi, siapa pula yang akan mengganti posisimu sebagi bek futsal kelas? Kamu bek tangguh sep, melindungi kiper dan gawangnya dari serbuan lawan. Sayang futsal terakhir tidak memberikan hasil apapun. Kita kalah. Kamu tahu tepatnya bagaimana mengendalikan bola, membuang bola, dan bertabrakan dengan lawan main, sungguh sangat membantu posisiku sebagai kiper. Kamu juga sering bilang padaku untuk tenang saat bola datang, karena ada dirimu. Wah apa kabar futsal kelas kita? Mati, ngak pernah ada latihan lagi. Kebanyakan dari mereka lebih suka mengerjakan tugas membosankan itu. 

Terima kasih atas perayaan kecil ulang tahunku di rumahmu, tanggal 5 September lalu, hari yang gak pernah kulupakan. Baru kali ini aku dapat kue ulang tahun dari sahabat-sahabatku. Benar apa yang kamu tebak, aku sempat iri karena kupikir kue ulang tahun itu untukmu. Dan ternyata speechless kue itu untukku. 

Tersirat dibenakku saat ini hanyalah hijaunya permadani Tuhan di Cangkringan, lapangan rumput, pohon-pohon, hingga keramahan penduduknya. Masih terekam jelas di otak ini bagaimana suasana rumahmu siang dan malam yang dingin. Menyenangkan. Kurang dari sebulan lalu, kita masih bisa merasakan kasurmu yang empuk, ibumu yang menawari makanan dengan ramah serta celotehan-celotehan ejekanmu. 

Masih jelas pula bagaimana sebulan lalu kita makrab di SD dekat rumahmu, kala merapi masih dengan berstatus waspada tentunya. Sekarang yang tidak bisa aku bayangkan saat dimana tubuhmu diserang material merapi bersuhu lebih dari 500 derajat Celsius. Awan dan lahar jahanam itu membakar sebagian desamu. Bahkan untuk melihat jenazahmu yang sudah tidak dikenali pun aku terlalu pengecut. Penakut. 

Tak kita sangka secepat ini kamu pergi, padahal dua hari sebelumnya kamu masih menasehati macam-macam. Kamu pernah bilang padaku bukan supaya aku berdandan rapi, bersikap terbuka, dan mengungkapkan perasaan yang terpendam. Baik, semoga saja aku bisa melaksanakan wasiat terakhirmu itu.  

Aku tak tahu bagaimana mengakhiri cerita pendek "khayalan" yang pernah kubuat mengenai kita berlima: aku, kamu, nuri, novi, gita. Kita sempat pula merencanakan akan memperpanjang cerita jelek nan khayali itu bukan, menurut versimu dan teman-teman lain. Tidakkah kamu ingin membuat cerita? Bukan dengan kakak pertama, kakak kedua, kakak ketiga, melainkan seseorang yang membuat dirimu dibutuhkan? 

*Ini tulisan harusnya saya posting sebulan setelah meninggalnya, karena lupa nyimpennya ya baru posting sekarang.

Komentar

Postingan Populer