Takrif Lapar Hamsun

Lapar-Knut Hamsun Terbitan Yayasan Obor

Hamsun begitu pesimis menuliskan cerita Lapar, setidaknya itu kesan awal saya usai merampungkan buku terbitan Yayasan Obor ini. Melulu buku ini hanya menceritakan soal kelaparan yang melanda tokoh utama, cara bertahan menghadapi lapar, dan bagaimana menuntaskan kelaparannya. Mungkin kiranya buku ini pantas dibaca oleh orang-orang yang ingin menjalani laku hidup prihatin.
Tokoh utama tidak bernama, Hamsun menggunakan sudut pandang aku untuk menceritakannya. Bagaimana kalau kita sepakati untuk memanggilnya sebagai Hamsun saja?
Kesan selanjutnya, menjadi ideal dan menjunjung idealisme itu tak gampang. Hamsun seorang penulis bertahan hidup hanya dari tulisan-tulisan yang ia anggap ideal. Cilakanya yang dianggap ideal olehnya belum tentu dianggap bagus oleh redaktur-redaktur. Tulisan-tulisan Hamsun memang tak langsung bisa dimuat begitu saja. Ada momen ketika tulisannya ditolak dan merasa frustasi bahwa ia sesunggunya terlalu pandir dalam menulis.
Dari pekerjaan menulisnya Hamsun mendapat uang. Jika tulisannya laku ia akan mendapat uang untuk membeli makanan mengobati rasa laparnya. Ia mendapat 5-10 krone ketika artikelnya dimuat dalam koran. Dengan uang itu ia dapat membeli makanan enak sebagai obat lapar yang berhari-hari ditanggungnya. Usai memuaskan hasrat makannya tak lama kemudian ia kembali menjadi miskin.
Hamsun tipikal orang rakus yang keranjingan makanan-makanan enak ketika memiliki uang. Tapi ketika tak sepeser pun uang tak ia miliki, ia bak orang paling nelangsa di dunia. Bahkan saking miskinnya ia pernah tak makan hingga berhari-hari. Mengobati rasa laparnya Hamsun mencoba mengunyah potongan kayu, pakaian, dan bahkan jarinya sendiri.
Sebagai bujang Hamsun dapat menahan rasa laparnya berhari-hari hanya demi menuntaskan tulisan-tulisan yang ia anggap ideal. Tapi mari coba bayangkan posisi Hamsun ketika ia telah memiliki anak istri. Akankah tetap sama? Saya kira tidak. Orang lain (istri dan anak) di luar dirinya bukan Hamsun yang sanggup menananggung lapar berhari-hari hanya untuk sebuah tulisan bagus. Saya menebaknya demikian: Hamsun diam-diam mengendap melihat dengan perasaan tak tega pada anak dan istrinya ketika lapar.
Mengapa saya menebak seperti itu? Ini terkait dengan cerita ketika Hamsun bertemu dengan—Yyali— perempuan yang dicintainya. Ia yang miskin tak miliki sepeser pun uang awalnya tak berani mendekati seorang perempuan pun. Maka ketika ia mendapati uang hasil tulisannya turun, ia berani mendekati Yyali yang beberapa kali berdiri mematung di sekitar tempat tinggalnya. Cinta Hamsun barangkali bisa mengobati rasa lapar. Berkat cinta Hamsun tak lagi memikirkan melilitnya perut dan bagaimana cara mengatasinya. Hamsun hanya berpikir bagaimana cara ia bisa mendapat duit untuk kencan dengan perempuannya. Ah segitunya!
Tapi lapar tak melulu perkara perut juga menurut saya. Lapar pengetahuan atau lapar cinta contoh sederhananya. Lapar barangkali diciptakan agar tau bagaimana nikmatnya kenyang. Hehhehe klise sekali. Mengakhiri cerita ini, saya mau mengajukan pertanyaan. Kalau menurut sampeyan-sampeyan, hasrat paling mendasar manusia itu lapar atau kebutuhan untuk melakukan hubungan seks?
Post scriptum : Tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai resensi apalagi telaah kritis atas tulisan-tulisan Hamsun. Ini semacam ziarah pada hal-hal mendasar manusia saja. Selain itu saya sedang malas ngecek buku Hamsun lagi untuk memastikan secara detail nama, tokoh, dan peristiwanya. Oya buku ini mengingatkan saya pada seorang kawan. Ia bilang kalau kombinasi lapar, ngantuk, dan banyak kerjaan bisa bikin orang uring-uringan. Cilakalah mereka!

Komentar

Postingan Populer