Terjebak Tangan-Tangan Tengkulak
Sekumpulan bapak-bapak sedang memainkan
bambu-bambu menjadi sebuah alunan musik, sedangkan seorang sinden
perempuan memainkan lelaguan jawa dengan fasih. Mereka menyebut grup
musik ini sebagai Albapung, akronim dari Alunan Bambu Kampung.
Pemandangan ini menjadi sajian menarik ketika kami tiba di padukuhan
Kaliwaru, desa Kampung, Ngawen, Gunung Kidul.
Kaliwaru
tak hanya menarik pada musik Albapung saja tapi kian menarik lantaran
padukuhan ini dikenal sebagai penghasil caping anyam bambu. Produk
caping Kaliwaru ini telah digunakan oleh masyarakat di berbagai
tempat baik tingkat lokal atau nasional. Memang tak sembarang caping
yang dihasilkan Kaliwaru, produk caping padukuhan ini dikenal sebagai
primadona karena hasil anyamannya yang halus.
Caping
yang biasa digunakan oleh kebanyakan petani-petani ini diproduksi
secara manual oleh penduduk Kaliwaru. Hampir tiap penduduk padukuhan
Kaliwaru berprofesi sebagai pengrajin caping selain tentu juga
sebagai petani. Intan, salah seorang penduduk Kaliwaru mengungkapkan
bahwa dari orang tua hingga anak-anak usia sekolah dasar telaten
menganyam caping di padukuhan ini.
Dalam
waktu satu hari saja setiap satu penduduk bisa menghasilkan satu
anyaman caping. Kelihatannya mudah, tetapi sesungguhnya proses
pembuatan caping sebenarnya tak gampang. Berikut ini adalah
langkah-langkah pembuatan caping :
- Bambu yang digunakan sebagai bahan caping adalah bambu usia remaja, tak terlalu tua juga tak terlalu muda.
- Satu ruas bambu dibelah-belah menjadi beberapa bagian. Setelahnya bambu dibelah menjadi batangan kecil-kecil yang kemudian masih harus ditipiskan dan disuwiri agar mudah dianyam.
- Bambu yang memiliki permukaan tajam harus dihaluskan terlebih dahulu agar kualitas produk terjaga, selain juga untuk menjaga agar pengrajin tidak terluka karena tekstur bambu yang tajam. Penduduk Kaliwaru menyebut proses penghalusan bambu ini dengan istilah diongot (diraut).
- Setelah bahan baku bambu anyaman telah siap, proses selanjutnya ialah melakukan penganyaman. Ada tiga lapis anyaman untuk menghasilkan satu buah caping. Lapis pertama yang langsung menempel pada badan caping dianyam secara kasar, lapis kedua dianyam semi halus, dan lapis ketiga lebih halus lagi.
- Caping yang telah selesai dianyam selanjutnya harus melalui tahap finishing untuk siap pakai. Tahap finishing pertama dengan memberikan plisir pada pinggiran-pinggiran caping agar anyaman tidak bubar. Selanjutnya caping diawetkan dengan zat pengawet dan diberikan minyak goreng agar badan caping terlihat mengkilat.
Alat-alat
yang dibutuhkan untuk membuat caping ini cukup sederhana, hanya
bermodal pisau pangot dan bendo untuk membelah bambu. Satu buah
caping Kaliwaru ukuran kecil dengan anyaman halus dijual 15-20
ribu/biji. Sedangkan untuk ukuran besar, caping Kaliwaru biasa dijual
30-50 ribu rupiah per biji. Harga-harga caping Kaliwaru itu termasuk
harga standar pasaran caping dari pengrajin. Lain soal ketika
produksi caping sudah lewat tangan tengkulak. Mereka yang berprofesi
sebagai tengkulak akan menjual caping dan produk-produk anyaman lain
jauh lebih tinggi daripada harga yang mereka beli di pengrajin.
Prinsip
jual beli memang memperoleh untung. Itu lumrah dan wajar. Tapi apakah
wajar jika proses jual beli ini tak adil? Tengkulak memberikan
harga-harga murah untuk caping setengah jadi atau tengkulak akan
menawar harga sampai titik terendah dan menjualnya dengan titik
tertinggi. Ini hanya menguntungkan tengkulak. Laba yang mereka
peroleh tinggi sedang risiko yang ditanggung kecil.
Nah
industri rumah tangga anyaman caping ini dicederai oleh
tengkulak-tengkulak yang siap menerkam pengrajin anyaman. Sebenarnya
masyarakat Kaliwaru resah dengan prinsip jual beli yang merugikan
pihak pengrajin caping. Tapi mau tak mau mereka akhirnya kembali lagi
pada tengkulak. Pengrajin membutuhkan uang tunai untuk biaya hidup
sehari-hari dan itu disediakan oleh tengkulak. Berbeda hal ketika
mereka menjual caping itu sendiri. Pengrajin tak langsung mendapat
uang tapi masih harus melewati beberapa proses seperti mencari
pembeli dan mendistribusikannya.
Memang
sempat ada sebuah pasar caping di Kaliwaru, letaknya berada di jalan
utama padukuhan dan berada persis di samping balai dukuh. Pasar ini
menampung produksi kerajinan caping anyaman bambu dari para
pengrajin. Tetapi sayang pasar caping ini tak bertahan lama karena
sepi pembeli. Tengkulak d lebih senang membeli di tempat pengrajinnya
langsung, pun dengan pembeli biasa yang lebih senang untuk membeli di
pengrajinnya langsung.
Tak
hanya pandai dan telaten menganyam caping, orang-orang Kaliwaru juga
telaten membuat kerajinan anyaman lain seperti dompet, tikar, dan
keranjang baju. Namun sayang lagi-lagi dompet, tikar, dan keranjang
tersebut hanya dibuat setengah jadi sesuai dengan pesanan para
tengkulak. Barang setengah jadi itupun akan dibeli tengkulak dengan
harga yang jauh lebih murah. Para tengkulak ini yang kemudian akan
memberikan finishing
akhir pada berbagai kerajinan anyaman. Secara sengaja tengkulak tak
mengajari masyarakat pandai memoles kerajinan agar harganya tinggi.
Secara sengaja pula tengkulak membeli produk-produk kerajinan
setengah jadi agar pengrajin merasa bahwa barang kerajinannya pantas
dibuat murah.
Post
Scriptum : Tulisan berdasar hasil wawancara dengan Mbak Intan, salah
satu warga di padukuhan Kaliwaru, Kampung, Ngawen, Gunung Kidul.
Sumonggo diberi komentar gimana caranya memutus mata rantai
tengkulak?
Kunjungan perdana berkat link dari blog mas Agus njaluk rabi, hehe...
BalasHapusSalam
Hehehe makasih sudah mampir mas, salam kenal
BalasHapus