Menanam Itu Tak Gampang

Hasil akhir tanaman sawi kecil-kecil
Awal Maret lalu saya tertarik memelihara beberapa tanaman. Bukan tanaman hias, tapi tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan dapur. Ketertarikan pada tanaman itu memunculkan obrolan dengan Mbak Wahyu dan ia pun ternyata sedang mencari beberapa tanaman juga. Saya dan Mbak Wahyu janjian untuk pergi ke Pasar Hewan dan Tanaman Hias (Pasti) di Jalan Bantul. Kami masuk di bagian barat tempat tanaman-tanaman hias dijual. Beberapa penjual bertanya pada kami tanaman apa yang ingin dicari dan kami memutuskan untuk berhenti pada dua pedagang di dekat pintu masuk. 

Pedangan pertama menawarkan pada kami beberapa tanaman, biji-bijian, dan alat-alat tanam. Ditempat itu pula saya sempat bertanya harga polibek, pot, dan tunas tanaman. Tak ada kecocokan harga pada pedangan pertama, saya putuskan untuk menemui pedagang kedua. Di penjual kedua yang agak aneh ini, mula-mula saya tanyakan padanya harga polibek dan biji-biji. Ia bilang tak punya koleksi lengkap dan malah menyarankan pada kami untuk datang ke Toko Subur, sebuah toko di Jalan Wates yang menjual peralatan dan perlengkapan tanam.


Begitu mendapat kata kunci Toko Subur itu, saya dan Mbak Wahyu bergegas ke sana. Toko ini terletak di sisi utara Jalan Wates Jogja dan hanya sepelempar mata jaraknya dengan perempatan Wirobrajan Utara. Jika tak teliti dan alon-alon naik kendaraan bisa dipastikan kamu akan kebabalasan. Toko Subur ini tipikal toko-toko tua milik keturunan Tiongkok, bisa dilihat dari fasad bangunan dan Koko bermata sipit penjaga kasirnya.

Saya menemukan apa yang saya cari di toko ini: pot, polibek, pupuk, dan biji-bijian dengan harga bervariasi di sini. Harga yang ditawarkan di toko ini tergolong murah, untuk 50 biji polibek diberi harga 9000. Berbeda dengan di Pasti, harga polibek bisa dua kali lipat harga di toko ini. Dua pot plastik, satu botol kecil pupuk organik cair, 50 biji polibek, dan biji sawi saya beli, total untuk membeli itu semua tak sampai 50 ribu.

Ketika piranti tanam sudah siap, saya tak langsung menanam biji-bijian ini. Tanah di depan rumah tak dapat digunakan karena bertekstur keras dan kasar akibat bongkahan batu pasir semen zaman tembok tua rumah diruntuhkan 12 tahun lalu. Pertengahan Maret saya baru mencari-cari tanah untuk lima buah polibek dan dua pot kecil tempat hidup calon tanaman.
 
Tiga buah polibek saya isi dengan biji sawi, dua buah polibek diisi biji kangkung, dan dua pot kecil untuk cabe dan terong. Pupuk dan air telah disiram dan biji telah ditanam. Selang beberapa hari kemudian tunas-tunas kecil sawi dan kangkung mulai bermunculan. Bahagianya.

Kebahagiaan kecil itu tak berlangsung lama, biji terong dan biji cabe rawit tak memunculkan tunasnya. Tanaman terong memang baru saya coba tanam, tapi tanaman cabe sudah tiga kali tanam dan gagal gagal gagal terus. Kata kawan tanaman cabe yang saya tanam terlalu minum banyak air sehingga tak bisa berkembang. Tanaman kangkung yang semula tumbuh dengan baik itu sepertinya kekurangan gizi, batang dan daunnya tumbuh kecil dan tak enak dimakan. Saya biarkan tanaman itu menguning tua dan mati pelan-pelan.
 
Hasil akhirnya tanaman yang benar-benar tumbuh dan bisa saya manfaatkan hanya sawi dan pare meski keduanya pun tumbuh kurang memuaskan. Sawi dipanen akhir Mei lalu dengan kondisi memprihatinkan. Tanaman sawi yang dipanen pada tiga polibek berbatang dan berdaun kecil. Panjang kali lebar satu daun dan batangnya hanya setengah tangan orang dewasa. Sawi itu akhirnya dieksekusi sebagai campuran orak arik telur untuk satu porsi.

Tanaman pare yang berbuah itu saya tanam sebulan lebih awal dari tanaman lainnya pada botol bekas air mineral yang kemudian dipindah pada ember bekas cat tembok karena membutuhkan wadah lebih lebar. Pertengahan Juni lalu tanaman pare berbuah. Ada tiga buah pare yang muncul dengan ukuran satu kepalan tangan orang dewasa. Saya tunggu-tunggu pare itu sembari menunggumu, tapi ternyata ia tak tumbuh ke ukuran sebagaimana mestinya pare yang biasa ada di pasar. 

Buah pare yang sudah menguning

Buah pare yang menguning memiliki biji
berwarna merah di dalamnya. 

Buah pare itu memberi harapan palsu dan pelan-pelan berubah warna menjadi kuning. Kata Ibu, pare yang menguning dengan biji-biji merah itu tak bisa lagi dimanfaatkan dan tentu tak enak dimakan. Tak semua cerita tanam menanam ini mengenaskan, kabar baiknya awal Juli lalu lima buah pare muncul kembali dengan ukuran sekepalan tangan orang dewasa. Langsung saja kelima pare itu saya eksekusi dalam bentuk oseng-oseng pare udang.

Akhiru kalam, menanam itu tak gampang, dan tak semudah tips-tips menanam yang bertebaran di ruang maya. Di ruang nyata menanam itu laiknya mengasuh anak: memastikan makanan cukup, memastikan tak kekurangan gizi, dan memastikan tak ada satu hal pun yang menganggu tumbuh kembangnya.

Komentar

  1. Hahaha, aku baru aja semalam ngobrol dengan Nanda, berencana untuk nanem semangka. Kata petani di Urutsewu, semangka bisa dipanen dalam dua bulan. Tapi bahkan cerita menanam sawimu aja sudah membuat pesimis. Hahaha. Ibuku nanem sawi subur2, Nis. Mungkin kamu perlu tanya. Hahaha. Oya, di rumah, ibu nanam sawi dikasih pupuk urea.

    BalasHapus
  2. Bisa dipengaruhi beberapa hal cik, bisa bibit sawinya, tanahnya, dan pupuknya. Terus aku juga ngrasa sawi yang kutanam itu kebanyakan terpapar sinar matahari, padahal sawi biasa ditanam di tempat dingin atau setidaknya tempat teduh di bawah pohon. Oya kalau semangka banyak tu di sekitar pesisir kulon progo. Anak pegawainya bapakku jadi petani semangka, setaun dy yang cuma bantu-bantu sodaranya aja bisa dapet 20jt.

    BalasHapus
  3. Coba trs doong, kisahnya mirip sy, tapi skrng sy sdh lumayan bisa Nanem macem2 sayur, cangkok dan sambung pucuk jg sdh bisa. Perlu wktu blajar spt ini...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer