Cerita Panjang Perdagangan Orang

Penempatan TKI Ilegal. Ilustrasi oleh
Imam Zakaria. Sumber : www.buruhmigran.or.id
Beberapa hari yang lalu kantor saya diundang oleh Eltira FM untuk ngobrol bareng mengenai human trafficking. Kebetulan saya yang disuruh untuk berangkat acara ngobrol bareng itu. Senang sih bisa siaran di radio publik, tapi juga deg-degan musabab penyakit kambuhan demam panggung juga datang. Padahal saya nggak sendirian di sana, ada Mas Ignas dari Mitra Wacana yang diundang juga untuk ngobrol. Tema ngobrol bareng itu sebenernya soal peran media dalam pemberantasan trafficking, tapi obrolan kami lebih luas dari samudra TOR.

Tadinya saya pikir satu jam untuk ngobrol tema itu terlalu lama, tapi setelah dilakoni satu jam untuk bahas perdagangan orang kurang banget. Yuk ah mulai kenalan dengan human trafficking. Kejahatan perdagangan orang ini kerjahatan yang sistematis, terorganisir, berjejaring luas, dan canggih. Kalau kata International Organization for Migration, perdagangan manusia menduduki peringkat ketiga perdagangan haram setelah senjata dan narkotika.

Semenjak teknologi berkembang, media informasi seperti sms, media sosial dan iklan jadi alat buat melancarkan kejahatan ini. Tapi nggak cuma lewat teknologi modern juga sih, perdagangan orang marak juga dilakukan secara offline sejak dahulu kala. Pelaku perdangan orang nggak cuma PJTKI, calo dan aparat lho, tapi pelaku bisa jadi saudara kita, ayah ibu kita, keluarga, teman, suami atau pacar kita sendiri. Saya pernah baca beberapa kasus kalau pelaku perdagangan orang kadang nggak tau mereka sebagai pelaku atau trafficker.

Contoh kasus ni. Misal saya curhat ke pacar kalau saya sedang butuh pekerjaan banget. Ndilalah pacar saya itu pernah mendengar kalau temannya sedang membuka lowongan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga dengan gaji tinggi, libur mingguan, dan fasilitas lengkap di Jakarta. Ndilalah saya kok tertarik dengan itu dan saya mau bekerja dengan temannya. Sesampai di Jakarta saya terkejut bukan main setelah ngrasain kerja dua bulan. Ternyata gaji saya nggak dibayar, lembur setiap hari sampai larut malam, tidur di lantai tanpa alas, nggak boleh keluar kantor dan cuma dapat jatah makan sekali.

Ceritanya saya berusaha melarikan diri. Ndilalah berhasil dan saya lapor ke kantor polisi yang ternyata digolongkan sebagai kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Semua diusut dan diperiksa oleh polisi. Mulai dari majikan saya sampai pacar saya yang nyariin kerjaan diperiksa. Setelah penyelidikan ternyata pacar saya terjerat pasal dalam UU TPPO. Meski pacar sayang banget sama saya dan nggak bermaksud gitu adanya, ia tetep terkena pidana karena ikut menghantarkan saya ke gerbang perdagangan manusia. Pacar saya—yang nggak sadar sebagai pelaku—minimal kena 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara menurut UU TPPO nomor 21 tahun 2007. (Ini cuma contoh kasus lho ya, saya nggak punya pacar dan bukan korban TPPO).

“Emang yang digolongkan TPPO itu yang kayak gimana to?,” pura-puranya ada yang nanya.

Jadi gini, menurut beberapa sumber yang saya baca, human trafficking ini segala sesuatu mengenai perekrutan, penampungan, pemindahan, penempatan dengan cara paksaan, tipuan, ancaman, jeratan hutang, untuk tujuan eksploitasi. Bentuk eksploitasi ini macem-macem, kekerasan seksual, perbudakan, kawin paksa dan sebagainya. Modusnya juga macem-macem, ada yang pakai rayuan gombal, iming-iming, dan modus-modus halus lain. Tapi ada juga yang pake modus kasar, kayak di hipnotis terus diculik, dipaksa, atau diancam.

Kalau mau ditelaah lagi, akar kejahatan perdagangan manusia ini sebabnya macem-macem. Kemiskinan iya, lapangan kerja tak layak iya, pendidikan tak memadai iya, sosial budaya iya, akses informasi juga iya. Soal akses informasi ini jadi penting banget, soalnya emang ketiadaan informasi bisa bikin kita sesat sih. Bayangin aja kamu ditinggalin di labirin sendirian tanpa petunjuk apapun, pasti sangat susah untuk nyari jalan keluar dari situ.

Ini sama kayak kasus pencari kerja yang mau kerja ke luar negeri. Mereka nggak tau musti cari informasi untuk migrasi kemana. Soalnya nggak semua pemerintah desa ngerti cara-cara migrasi ke luar negeri. Ketiadaan informasi itu dibaca oleh calo atau perekrut tenaga kerja. Mereka datang ke desa dan ngasih info banyak banget soal penempatan TKI. Mereka bilang kalau kerja di luar negeri itu enak, gajinya gede, nanti bisa bangun rumah, bayarin anak sekolah dan iming-iming lain. STOP! Sampai di sini kamu jangan percaya dulu omongan mereka, karena nggak semua info yang mereka kasih itu bener.

Kamu perlu nyari kepastian atas info yang diberikan calo atau perekrut. Proses nyari kepastian itu mirip kok kayak mencari kepastian cinta. Kamu tatap mata calo itu dalam-dalam dan katakan dengan lantang AKU MAU CARIK TAU DULU SEBENARNYA INI GIMANA! Kalau untuk urusan cinta kamu bisa cari tau kebenaran lewat orang-orang terdekatnya. Kalau untuk urusan perekrutan TKI, kamu pergi saja Disnakertrans. Tanya-tanya ke mereka ada job order penempatan nggak? PJTKI/PPTKIS mana yang baik? Biaya penempatannya berapa?

Kalau Disnakertrans jaim ogah ngasih tau, ktakan ke mereka kalau kamu berhak tau informasi itu. Kewajiban mereka untuk ngasih tau informasi mengenai migrasi, suruh mereka baca UU KIP No 14 tahun 2008 deh! Kalau mereka ngeyel atau ngasih informasi nggak jelas, coba kamu tanya serikat buruh migran atau NGO/LSM yang konsen di bidang buruh migran. Kamu juga bisa buka-buka informasi soal migrasi di portal www.buruhmigran.or.id. Kalau mau nyari tau track record PJTKI/PPTKIS bisa juga buka portal www.pantaupjtki.com.

Waktu ditanya media apa saja yang cocok dipakai untuk pencegahan human trafficking, kubilang kalau semua media cocok. Radio, tivi, website, pamflet, selebaran hanya sebatas alat. Kalau pun masyarakat akar rumput tak dapat menjangkau itu semua, mereka bisa memanfaatkan sms, arisan, kumpul RT/RW atau khutbah jumat sebagai kampanye pencegahan perdagangan orang. Terpenting mereka memikirkan konten-konten yang akan disampaikan dan gimana caranya biar bisa gampang dipahami masyarakat luas.

Kalau soal bagaimana media harusnya bersikap meliput korban TPPO, media harus tegas berpihak pada korban. Korban, sesuai UU 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, berhak menerima perlindungan. Saya kira di sini bentuk perlindungan juga soal pemberitaan yang nggak diekspos berlebihan deh. Miris deh lihat pemberitaan media atas kasus TKI Cilacap yang dibunuh di Hong Kong bulan lalu. Banyak media kita yang menyoroti TKI sebagai pekerja malam tanpa lihat kenapa mereka bisa kerja kayak gitu. Udah ah segitu aja, kapan-kapan kita jumpa lagi blogspot!

PS : Catatan pengingat biar kemarin yang dipelajari nggak nguap begitu saja.


Komentar

Postingan Populer